Matawarta.com, JAKARTA– Keputusan Mahkamah Kontitusi memisahkan pemilu masih menjadi perdebatan. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mempertanyakan lingkup kewenangan MK dalam pembentukan sebuah undang-undang.
“Terlepas dari substansi keputusan MK Nomor 135 tersebut, saat ini sangat penting untuk kita telaah secara mendasar posisi MK dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia,” kata Bima, kepada Kompas.com melalui pesan singkat, Kamis (3/7/2025).
“Sejauh mana kewenangan MK dalam konteks pembentukan undang-undang di Indonesia yang demokratis dengan DPR dan pemerintah sebagai institusi utama?” katanya.
Dengan menganut sistem demokrasi, Indonesia tidak bisa melaksanakan sistem kenegaraan atau pemilu yang berubah-ubah. Apalagi, menurut Bima proses revisi UU Pemilu yang sedang dikerjakan saat ini harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
“Bukan sistem yang berubah-ubah secara ekstrem setiap pemilu. Karena tidak ada sistem pemilu yang sempurna di dunia ini,” ucapnya.
“Materi keputusan MK akan menjadi materi yang didiskusikan, dikaji ulang, dan diselaraskan dengan tujuan UUD 1945,” ujarnya.
Putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
Adapun pelaksanaan pemilihan umum nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
Putusan MK tersebut menyatakan
pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.